Cinta . . .!!!
Aku adalah penyair itu, Seorang pemuda desa yang penuh dengan renungan. Kisah hidupku yang kucurahkan disini mengalir apa adanya, mengikuti arus imajiku yang kadang terbang dan tenggelam...
Senja itu, ketika matahari tlah membenamkan separuh sinarnya, rintik gerimis turun membasahi kesepian hatiku. Bunyi gemericik air yang merintik memandikan segenap jiwaku. Secarik senyuman yang kukenangkan kian meredupkan senja yang melukiskan kelabu perpisahanku dengan Nhisa, dimataku memang tak ada titik tangis, tapi kesedihan yang mengalir didadaku telah melebihi hujan yang turun sejak sore tadi.
Yah…, senja yang berlabuh dipukul lima empat puluh lima itu menjadi senja yang ke dua puluh tiga untuk perenunganku terhadap kekasihku yang tlah hilang. Bait-bait puisi indah yang bertebar di dinding kamar tak mampu menyeka perihku.
Dan lembar-lembar syair yang tertumpuk disudut kiri meja serta, di bagian meja lainnya, atau yang berserak diatas tempat tidur juga tak mampu menampung semua yang ingin aku luahkan tentang hatiku. Dan kini, disaat yang sama seperti kemarin,
perhelatan pikiran yang memenuhi benakku masih menyisakan kerutan dahi diatas mataku yang tetap menatap titik-titik hujan yang merintik diseberang jendela.
Bedug maghrib terdengar, aku baru sadar jika aku sedang berpuasa,
Kubertanya pada hatiku sendiri. Mengapa aku selalu gagal menahan gejolak jiwa untuk tak bersedih. Padahal hari ini adalah hari untuk menahan. Dan aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku mencoba untuk menahan apa yang tak dapat aku tahan. Tentang kejujuran perasaan, yang sampai sekarang tak dapat aku taklukkan.
Denting suara piring tetangga-tetangga yang sedang berbuka puasa samar terdengar ditelingaku. Aku beranjak ke taman belakang yang tak beratap, menengadahkan wajah keatas, berharap rintik gerimis dapat menyeka kesedihan tak berair mata diwajahku. Perlahan.., mulutku kubuka sehingga gerimis leluasa masuk mengusap dahagaku. Terasa begitu sejuk dan dingin . . . . ku biarkan selama beberapa saat...
Hingga segenap jiwaku tak lagi gerah terhadap takdir yang telah membakar hatiku.
Yang telah menghanguskan harapan-harapanku.
Awan berarak kelabu yang dulu slalu menemani langkah imajiku menelusuri jagat kini hanya bisa turut menangis berurai gerimis.
Membasahi setiap bongkah tanah yang kupijak. Entah telah berapa lama, dan entah masih akan berapa lama jiwaku larut dalam kelamnya senja. Yang jelas, hatiku pun tak mengerti. Benakku pun tak pernah mengerti tentang satu kata sakral yang sedang kualami. Cinta . . . !!!