“TAK ADA orang lain di dunia ini. Kita adalah ranting-ranting kecil yang berbeda dari SATU pohon yang SAMA” [ Mhardy Mohammad ]

Translate This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 08 Juli 2009

Maaf, Aku Hanya Seorang Playboy !

(Dari sebuah Novel)



“Aku punya beberapa dalil untuk berpoligami, sebagai alibi yang ampuh untuk membela diri. Namun, aku bukan type lelaki yang berambisi untuk memiliki mahkluk seindah wanita minimal empat. Aku hanya lelaki yang sepertinya memang ditakdirkan untuk bertemu dengan lebih dari satu wanita. Lalu kemudian mencintainya …”

(Mhardy Mohammad)













SEBUAH MASA SEBELUM CINTA ITU TERCIPTA

********************************************

Mataku pertama kali menatapnya ketika semilir angin berhembus lembut di telingaku. Ketika dengan halus ia berbisik;

“Lihatlah gadis itu!”

Saat itu, dia tengah berjalan meniti sebuah jembatan kayu bersama seorang temannya yang berkulit coklat, semanis brownies. Ia terlihat baru, karena ia memang anak baru di sekolah ini. Seperti aku yang terlihat baru di desaku sendiri karena cukup lama kutinggalkan.

Yah, dia adik kelasku, adik kelas yang memikat dan menarik perhatian seisi sekolah. Beberapa dari temanku memperebutkannya. Namun akhirnya aku yang berhasil meraih cintanya. Aku sangat senang dan aku sangat gembira mendapatkannya yang merupakan bunga sekolah sekaligus bunga desa. Aku sangat bangga saat itu namun saat ini menyesal karena saat itu aku masih remaja ingusan yang tak tahu bagaimana memperhatikan wanita, dan tak mengerti bagaimana memperlakukan wanita. Karena jangankan menunjukkan rasa sayang, berbicara dengannya saja, mulutku seperti terkunci rapat, lidahku kelu dan akalku membeku.

Hingga akhirnya kisah indah itu terlewatkan begitu saja, menjadi kenangan indah, yang selamanya hanya bisa kukenang…







KETIKA CINTA ITU MASIH INDAH

******************************************************

“Benarkah bidadari pernah turun ke bumi ini?”

Beberapa meragukannya, namun aku adalah yang percaya ketika aku melihat gadis itu. Senyumannya yang begitu memabukkan membuatku percaya akan keindahan surga. Dan itu menjadi alasan kuat bagiku untuk jatuh cinta padanya. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya. Aku jadi tak seperti biasanya. Bagai paparazzi, aku mengikuti kemana ia pergi dan mengamati setiap gerak yang ia lakukan secara sembunyi-sembunyi (yang akhirnya ketahuan). Aku memperhatikan betapa manisnya ketika ia tersenyum, Aku memperhatikan bagaimana ia menjadi perhatian setiap orang dimana aku memperhatikannya dari sebuah tempat yang gelap. Aku memperhatikan ketika ia tertawa dengan sebaris gigi yang putih. Begitu mengagumkan…. Aku telah berubah, dan jati diriku entah sudah terletak dimana. Aku tak perduli, inilah yang harus diperjuangkan oleh setiap lelaki. Mendapat cinta dari sang wanita pujaan. Dan aku…, adalah SEORANG LELAKI!!!

* * * * *

Siang itu, udara panas berkerumun di ruang kelasku yang tak ber-AC. Aku kegerahan tapi masih tak berminat untuk keluar kelas. Aku duduk di bangku paling belakang sambil membaca buku dengan santai. Aku menikmati ideologi-ideologi yang tertulis di buku pinjaman itu, sambil mencernanya satu-persatu dan membandingkannya dengan ideologiku sendiri. aku sibuk sendiri, dan tak tertarik untuk bergabung dengan teman-temanku yang terdengar riuh diluar kelas.

Sebuah senyum mengembang di pintu kelas, diiringi detak sepatunya yang sedang melangkah ke arahku. Sejenak ia berbasa-basi, menunggu waktu yang tepat lalu mulai bercerita padaku tentang apa yang ingin ia ceritakan.

“Riady…!”, ucapnya sambil tersenyum

“Yah…, kenapa?” sahutku pendek

Baru kali ini gadis itu mendekatiku dengan begitu seriusnya.

“Ada salam dari temanku!”

“Ha..ha…!” aku tertawa dalam hati, ternyata kali ini ia berperan sebagai Mak Comblang. Mak Comblang yang berharap berhasil menjodohkan pria dingin sepertiku dengan seorang temannya. Tapi aku tertarik dan tak akan menjadi pria dingin lagi jika teman yang ia maksud itu adalah Disya. Gadis yang kuperhatikan dan kupikirkan semalaman.

“Namanya Tyka!” ucapnya dengan berbisik

Tapi karena bisiknya terlalu pelan, aku mengira bahwa temannya yang ia maksud adalah Disya.

“Siapa…?” aku ingin memperjelas sebelum dalam hati meloncat kegirangan.

“Tyka…!”

Jawabanya itu membuat hatiku yang baru lepas landas jadi kembali jatuh terungkur mencium tanah.

“Tyka…?” aku kembali ingin memperjelas untuk memastikan siapa gadis yang ia maksud.

“Yah…, Tyka!”

“Aku tak mau!”

Dia tampak kecewa,

“Aku tak terima salam cinta dari temanmu itu. Kecuali jika temanmu itu Disya!”

“Kamu suka sama Disya…?” tanyanya setengah tak percaya

“Ya iya dong!, semua lelaki normal di sekolah ini sedang mengincarnya. Dan aku adalah salah satu dari pria normal itu”

Namun menurutku jawaban itu terlalu panjang sehingga aku hanya mengucapkannya dalam hati sambil mengekspresikannya dengan anggukan di kepala.

“Sampaikan padanya ya…!” aku menitip pesan sebelum ia beranjak kembali ke kelasnya.

Dan ia pun melangkah pergi setelah berjanji untuk menyampaikan salam cintaku pada Disya. Jantungku berdebar menanti jawabannya esok hari. Aku menatap kepergiannya lalu kembali fokus dengan buku yang ada di tanganku. Namun aku tak dapat fokus lagi…

* * * * *

Esok hari yang kutunggu itu tiba, aku duduk di tempat kemarin, di waktu yang sama, berpura-pura melakukan hal yang sama, seolah sedang membaca buku, namun sebenarnya aku tengah menunggu. Menunggu sebuah jawaban…

Dan akhirnya pemiliik senyum itu pun muncul di pintu kelas. Berdiri lalu melangkah kearahku.

Tanpa basa-basi lagi, ia langsung berucap;

“Disya menerima salam cinta kamu!”

“Yang benar…?”

“iya…! Benar! Kau harus datang malam nanti, di rumahku, ia juga akan datang. Oh ya!, jangan lupa bawa buku. Karena kita akan pura-pura belajar kelompok”

Aku tlah menjadi seorang lelaki. Aku berhasil menaklukkan hati wanita. Dan kurasa aku adalah salah satu lelaki yang paling beruntung di dunia. Jangan berpikir bahwa aku tak akan datang malam ini. Karena aku Lelaki!!!

* * * * *

Dengan membawa perasaan yang tak menentu. Aku datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Selasa malam pukul 06.30, mataku disuguhi dengan sebuah pemandangan indah, Malam ini Disya memakai baju kaos berwarna kuning. Ia tampak sangat manis dan membuat hatiku berbunga-bunga ketika kuketahui bahwa aku telah mendapat cintanya, dan mungkin malam ini adalah peresmiannya.

Aku duduk tepat didepannya, ia memang bagai seorang putri, seperti putri malu yang sedang malu-malu kucing, sesekali ia tersipu malu. Namun berbicara soal rasa malu, rasanya akulah yang paling memalukan malam ini. ia lebih banyak bertanya daripada aku. Dan bagai sedang di-interview, malam itu tak ada deklarasi cinta seperti yang kubayangkan. Aku tak berbicara banyak. aku tak tahu akan mulai berbicara dengan kata apa, atau memulai kata dengan huruf apa. Retorikaku tenggelam hidup-hidup di kedalaman danau matanya. Sungguh dalam…, dan esok hari ini menjadi headline gosip di sekolah. “Mati Kutu”, sebuah istilah yang terdengar baru bagiku dan telah menjadi julukan untukku. Riady, mati kutu…

Aku tak bisa menerima julukan itu. Itu merendahkanku dan menjatuhkan diriku dari sisi mental. Aku ingin mengubahnya dengan membuat janji untuk bertemu dengannya lagi. Dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mematahkan julukan mati kutu itu. Aku masih seorang lelaki, calon penyair hebat yang mestinya tak kehabisan kata. Tapi seperti kata orang, kesempatan tak datang dua kali. Aku tak punya kesempatan lagi. Tanpa sempat membangun komitmen hubungan, pondasi-pondasi cinta yang baru terbentuk tak berlanjut dan terbengkalai. Kebahagiaan dan kebanggaan itu tak lama aku rasakan. Sutradara kehidupan memberikan scenario yang didalamnya tak kutemukan cerita tentang kisah cinta abadi. Yang tertulis adalah kisah indah yang sementara, seperti hidup yang hanya sementara. Dan aku hanya ditakdirkan singgah sejenak di hatinya seperti hidup yang hanya sebuah persinggahan.

Sejak saat itu, cerita indahku bersamanya benar-benar tlah sampai di penghujung cerita. Dari saat-saat terakhir itu, satu yang bisa kuingat adalah ketika aku dapat duduk disampingnya. Lenganku bersentuhan rapat dengan lengannya. Sangat rapat, bahkan sedikit berdesakan. Tapi sedikitpun aku tak ada nyali ‘tuk menoleh. Sebuah kejadian yang lucu membuatnya tertawa tertahan. Dan, itulah terakhir kalinya aku melihat renyah tawanya yang indah. Dia memang gadis paling manis dan anggun yang pernah kukenal. Dan dengan meminjam sebuah judul lagu Sheila On 7. Disya adalah anugerah terindah yang pernah kumiliki..

Terakhir aku melihatnya adalah tujuh tahun lalu ketika cahaya cinta di matanya berubah menjadi sorot tatapan benci yang begitu tajam menembus jantungku. Saat itu aku tak berani menatap matanya lagi. Hingga akhirnya aku dan dia terpisah oleh takdir. Aku terluka...

* * * * *





>>> BERSAMBUNG . . .